Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Sabtu, 03 Maret 2012

Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Perbankan

Awal Juli 1997, terjadi gejolak nilai tukar. Bersamaan dengan itu, pemerintah melakukan pengetatan likuiditas. Kondisi ini memunculkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, terutama pasca pencabutan ijin usaha 16 bank pada tanggal 1 November 1997. Hal ini berdampak sangat buruk, terutama memicu terjadinya depresiasi kepercayaan terhadap perbankan. Sebagai manifestasi krisis kepercayaan itu, terjadi penarikan dana secara besar besaran. Akibatnya, banyak bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang sangat parah (mismatch) yang disusul dengan kelangkaan likuiditas perekonomian secara keseluruhan (liquidity crunch). Keadaan semakin diperparah dengan melambungnya suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) hingga mencapai 300% per tahun.

Keputusan likuidasi 16 bank pada tanggal 1 November 1997 dianggap sebagai pemicu krisis kepercayaan yang berlanjut dengan terpuruknya sektor perbankan. Sebenarnya, tindakan likuidasi itu diambil untuk mencegah semakin meluasnya krisis perbankan (systemic risk) dan besarnya risiko yang ditanggung masyarakat (economic cost). Selain itu, keputusan likuidasi itu juga merupakan hasil evaluasi dan rekomendasi IMF yang dituangkan ke dalam Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dengan IMF pada tanggal 31 Oktober 1997.

Kesepakatan dengan IMF ini yang juga merupakan tahapan awal pelaksanaan reformasi ekonomi dan perbankan yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policies yang ditandatangani pada awal November 1997. Program reformasi tersebut juga telah mendapat dukungan teknis dan keuangan dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan negara-negara sahabat lainnya. Namun, upaya yang semula dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan kepada perbankan itu ternyata oleh masyarakat ditanggapi secara negatif. Masyarakat melakukan penarikan dan pengalihan dana secara besar-besaran (bank run), sehingga sejumlah bank mengalami mismatch dan terus mengalami saldo negative (saldo debet) pada gironya di Bank Indonesia.

Untuk mencegah terjadinya pembengkakan saldo debet tersebut, pada akhir Desember 1997, dengan persetujuan Presiden, Bank Indonesia (BI) lewat surat Menteri Sekretaris Negara No. R-183/M.Sesneg/12/1997 tanggal 12 Desember 1997 menempuh kebijakan mengganti saldo debet bank-bank yang mempunyai harapan sehat dengan Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Hal ini dilakukan agar pada akhir tahun 1997 tidak ada lagi bank yang terpaksa ditutup dan dinyatakan bangkrut.

Memasuki bulan Januari 1998, dampak krisis, terutama yang menyangkut sector perbankan, ternyata semakin meluas. Saldo debet bank-bank di BI terus berlanjut. Untuk mencegah kehancuran sistem perbankan akibat krisis kepercayaan tersebut, pemerintah menempuh program stabilisasi dan reformasi menyeluruh. Langkah ini diambil juga untuk menjaga sistem pembayaran nasional dari kelumpuhan yang berakibat buruk pada seluruh kegiatan perekonomian dan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Pada tanggal 15 Januari 1998, program stabilisasi yang mencakup restrukturisasi sektor keuangan dan sektor riil itu ditandatangi pemerintah dengan IMF dalam LoI.

Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, pada tanggal 26 Januari 1998, pemerintah memutuskan untuk menjamin pembayaran seluruh kewajiban bank, baik kepada deposan maupun kreditur lewat program penjaminan (blanket guarantee). Langkah ini diambil dengan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Program Penjaminan BPR, Fasilitas Dana Talangan untuk Pembayaran Kewajiban Luar Negeri Bank dalam Rangka Trade Finance dan Inter Bank Debt Arrears, serta jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional. Keputusan ini juga sebagai tindak lanjut dari Frankfurt Agreement yang ditandatangani oleh pemerintah pada tanggal 4 Juni 1998.

Kebijakan ini dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional selai diharapkan dapat mendukung stabilisasi nilai tukar. Penjaminan juga diberlakukan bagi nasabah kreditur 16 Bank dalam Likuidasi (BDL), Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), Bank Take Over (BTO), bank yang masuk program rekapitalisasi, dan bank lain dalam pengawasan BPPN, dengan memenuhi syarat-syarat penjaminan yang telah ditetapkan.

Program penjaminan tersebut diterapkan setelah melalui pengkajian yang panjang oleh pemerintah dan konsultasi yang intensif dengan IMF. Dengan mengacu kepada komitmen dan kebijakan itu, pelaksanaan pembayaran penjaminan terhadap nasabah/kreditur sebenarnya merupakan kewajiban pemerintah. Namun, karena adanya kendala kondisi keuangan pemerintah pada waktu itu, BI menyediakan dana talangan terlebih dahulu. Pada gilirannya, semua pengeluaran akan ditagih oleh Bank Indonesia kepada pemerintah. Kebijakan pemerintah tersebut direalisasikan dalam berbagai bentuk fasilitas BI yang kemudian dikenal dengan istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sesuai Persetujuan Bersama antara Gubernur BI dan Menteri Keuangan tanggal 6 Februari 1999, nilai BLBI yang disepakati adalah Rp 144,5 triliun dan pemberian BLBI kepada PT Bank Ekspor Impor Indonesia sebesar Rp Rp 20 triliun. Atas pemberian BLBI sejumlah Rp 144,5 triliun tersebut, pemerintah menerbitkan tiga surat utang yaitu Surat Utang No. SU-001/MK/1998 sebesar Rp 80 triliun, No. SU-003/MK/1999 sebesar Rp 64,5 triliun, dan No. SU-004/MK/1999 sebesar Rp 53,8 tiliun. Penyediaan dana BLBI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat tersebut mengacu pada ketentuan Pasal 32 ayat (3) dan Penjelasan Umum Angka III huruf b Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Di dalam undang-undang tersebut ditegaskan peran BI sebagai lender of the last resort. Selain sebagai pelaksanaan fungsi itu, penyediaan BLBI juga dilakukan untuk melaksanakan komitmen BI untuk membantu pemerintah dalam menjalankan kebijakan makro ekonomi nasional.

Jadi, penyediaan BLBI merupakan konsekuensi kebijakan pemerintah untuk tidak lagi menutup bank, selain penjaminan terhadap pembayaran dana pihak ketiga dan kewajiban bank lainnya. Dasarnya adalah Keppres No. 24 Tahun 1998, Keppres No. 26 Tahun 1998, dan Keppres No. 193 Tahun 1998. Langkah ini diambil, selain atas persetujuan presiden, juga berdasarkan kesepakatan yang sudah ditandatangani oleh pemerintah dengan IMF. Selain upaya-upaya tersebut di atas, pemerintah juga membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Keppres No. 27 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998. Tugas utama BPPN adalah melaksanakan program penjaminan pemerintah atas kewajiban bank-bank umum sekaligus melakukan upaya-upaya penyehatan perbankan. Sebagai tahap awal pembenahan perbankan, pemerintah mengambil langkahlangkah preventif untuk mengurangi dampak kerusakan terhadap sistem perbankan. Caranya adalah dengan membekukan kegiatan usaha dan mengambil alih bank-bank yang dinilai dapat menjadi pemicu kerusakan sistem perbankan. Dalam kaitan ini, pada tanggal 3 April 1998, pemerintah menetapkan tujuh bank dibekukan kegiatan operasinya (BBO) dan tujuh bank lainnya diambil alih (BTO). Karena kondisi beberapa bank BTO tersebut semakin memburuk, maka pada awal Agustus 1998, tiga bank BTO dibekukan kegiatan operasinya.

Sebagai kelanjutan dari proses pemulihan iklim perbankan, pada tanggal 21 Agustus 1998, pemerintah mengumumkan paket restrukturisasi perbankan yang menyeluruh kepada semua bank. Paket ini terdiri atas dua bagian utama, pertama adalah kebijakan untuk menyiapkan pemulihan ekonomi dengan membangun kembali perbankan yang sehat melalui program rekapitalisasi dan penyempurnaan ketentuan dan peraturan perbankan. Kedua, kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi permasalahan bank-bank melalui percepatan restrukturisasi bank.

Program rekapitalisasi perbankan dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu pemeriksaan kondisi keuangan (due diligence), pengelompokan bank menurut kondisi permodalan, penilaian terhadap rencana kerja (business plan) bank, penilaian kelayakan dan kesesuaian (fit and proper test), serta penyetoran modal oleh pemilik/investor dan pemerintah. Pembahasan dan rumusan program rekapitalisasi tersebut dilakukan bersama oleh Departemen Keuangan, BI, dan BPPN yang kemudian diputuskan oleh presiden melalui DPK EKU. Dalam pelaksanaan program itu, diikutsertakan peninjau independen dari IMF, Bank Dunia, dan ADB (Bank Pembangunan Asia). Perkembangan dari hasil program ini diumumkan pemerintah pada tanggal 13 Maret 1999. Hasilnya, 38 bank diputuskan untuk di-BBKU, 7 bank di-BTO, dan 9 bank swasta nasional, 12 BPD, dan semua bank BUMN ikut dalam program rekapitalisasi. Kebijakan ini juga membawa dampak meningkatnya BLBI untuk menutup kewajiban pemerintah kepada nasabah/kreditur bank yang di-BBKU.

Sumber :

http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A6011CBA-1B4E-49B1-9DDC-CB01AB6C60D0/19387/SejarahPerbankanPeriode19971999.pdf


Tidak ada komentar:

Posting Komentar