Dalam melakukan promosi dan
pemasaran dibutuhkan etika yang baik agar suatu usaha yang dijalankan tidak
menyinggung pihak lain dan agar tidak
terjadi kesalahpahaman antar pihak yang nantinya akan menimbulkan masalah baru
bagi suatu perusahaan tersebut.
Etika
yang baik itu meliputi :
· Tidak menyinggung produk yang dikeluarkan pihak lain .
· Tidak menyelipkan kata-kata yang tidak bagus dalam proses
akhir pemasaran tersebut .
· Barang yang perusahaan buat tidak sama persis dengan apa
yang dipasarkan, dll.
Etika
adalah sesuatu yang bersifat tidak tetap, benar salah sebuah keputusan
tergantung dari pola pandang dipakai.
Contoh kasus, Pemasaran obat harus beretika. Ini untuk
mengatasi perilaku tidak etis, seperti praktik suap dan gratifikasi, yang
mengancam kualitas pelayanan kesehatan dan reputasi industri farmasi di
Indonesia. Asosiasi perusahaan farmasi asing di Indonesia, International Pharmaceutical
Manufacturers Group (IPMG), merevisi kode etik yang dikeluarkan tahun 2003
untuk meningkatkan komitmen terhadap pemasaran yang beretika. Revisi ini tak
hanya mengatur kegiatan promosi, tetapi juga terkait interaksi dengan praktisi
kesehatan dan lembaga medis.
”Antara lain mengatur kegiatan praktisi kesehatan ke luar negeri, uang pengganti perjalanan, dan honor dokter sebagai pembicara pada simposium ilmiah. Selain itu, diatur juga pemberian hadiah dan cendera mata yang bersifat promosi, biaya sebagai responden riset, dan sumbangan perusahaan”. Sebagai contoh, honor dokter sebagai pembicara di simposium ilmiah ditetapkan Rp 6 juta. Dalam satu hari, seorang dokter dibatasi menjadi pembicara maksimal di dua acara. Honor untuk pembicara asing ditetapkan 1.500 euro (sekitar Rp 17 juta). Direktur Eksekutif IPMG Parulian Simanjuntak menambahkan, berdasarkan data Bank Dunia, sedikitnya 1 triliun dollar AS uang yang beredar di dunia digunakan untuk praktik penyuapan. Hal ini memengaruhi independensi dokter dalam menentukan obat untuk pasien. Pelanggaran etika di Indonesia dijumpai dalam bentuk antara lain pemberian diskon obat di luar harga wajar, pemberian tiket gratis kepada dokter untuk berlibur ke luar negeri, pemberian komisi, pengobatan gratis, dan sumbangan kepada rumah sakit. Tujuannya, untuk memenangi persaingan di bisnis farmasi.
Menanggapi
masalah lemahnya penegakan etika pemasaran obat, Ketua Majelis Kehormatan Etika
Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia Prof Agus Purwadianto mengatakan, Indonesia
perlu membuat kode etik global. Kode etik yang ada saat ini bersifat parsial.
Dokter punya kode etik sendiri, demikian pula perusahaan farmasi dan apoteker.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar